Posted by : Nacoola generation Minggu, 16 Desember 2012


Salam Jawa Untuk Indonesia dan Dunia
(Karya Fadil Saeful Isnan)
Apa yang ada di dalam benak kita jika mendengar kata budaya kesenian calung? Akankah terbesit untuk membayangkan seperangkat benda yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang terangkai dan tersusun sedemikian rupa agar dapat berbunyi nyaring? Atau tersirat bayang-bayang kuningan dan kulit kambing atau sapi yang dapat menghasilkan suara merdu? Semua yang ada dalam benak dan pikiran Anda benar, kecuali jikalau memang Anda benar-benar belum mengetahui apa itu calung. Sebuah tulisan mengenai calung akan tertulis indah dan rapi dalam lembaran kertas putih ini. Karya pena tunggal putra Purbalingga.
Seperti yang telah kita ketahui bersama, Indonesia memiliki beragam budaya yang dapat dijadikan sebagai aset bangsa. Di sini saya akan mengulas mengenai Calung Banyumasan. Di Karsidenan Banyumas sendiri sudah tak asing dengan piranti yang satu ini. Sebuah maha karya unggulan yang telah mencapai kancah nasional. Dengan mengandalkan alam yang maha luas, manusia sangat pintar mengolah sumber daya yang ada untuk dijadikan sebagai sebuah inspirasi hebat dengan menyulapnya menjadi bentuk semacam meja kecil dengan rangkaian notasi tangga paranada yang terbuat dari bambu. Suara merdu akan terbit dari pukulan-pukulan manis pemuda-pemudi pecinta aset negeri. Dengan bermodalkan kesungguhan, kita pun dapat memainkannya sesuai keinginan kita. Kita dapat mengembangkan skill dan kecintaan kepada Ibu Pertiwi dengan menggerakan diri kita untuk tenggelam dalam permainan Gambang Barung, Slenthem, Kendhang, Gong, Perkusi, serta alat tambahan lain yang tersusun indah dalam Calung Banyumasan. Dengan istilah portable, segenggam kesenian Jawa ini dapat diusung kemanapun kita mau asalkan semua personel membawanya satu per satu.
Mari sejenak berbicara tentang musik dan pengembangan ilmu murni dan terapan. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh para ilmuwan dunia mengenai musik klasik yang dapat mencerdaskan otak adalah bukan hal yang selama ini ditafsirkan banyak orang. Saya akan sedikit mengulasnya. Ilmuwan penemu paradigma bahwa mendengar musik klasik dapat mencerdaskan otak adalah orang barat. Orang barat sendiri dahulu kala banyak yang memainkan ataupun mendengarkan musik klasik, musik asli mereka sebelum adanya musik pop, reggae, hiphop, rock, blues, RnB, dan sebagainya. Keseharian mereka memang seperti itu dan dianggap dapat membawa pengaruh baik terhadap otak. Jadi mereka menafsirkan sesuai dengan keadaan di mana mereka berada dan secara sederhana, hal yang mempengaruhi adalah di mana orang tersebut tinggal. Jika kita tinggal di Indonesia khususnya di Jawa, musik asli Jawalah semacam Calung Banyumasan ini yang menjadi pemicu kecerdasan otak.
Selanjutnya, seketika saya teringat akan teman yang ikut dalam salah satu sanggar seni budaya di kabupaten saya. Ia mengatakan bahwa kebudayan yang ada di tanah Jawa telah berhasil menginjakkan kakinya di tingkat nasional bahkan sebagai jamuan menteri pun tak jarang. Mendengar hal ini saya menjadi tergugah untuk mengembangkan budaya Jawa khususnya Banyumas agar tidak punah tergerus zaman. Sederhana memang, hanya bermodalkan niat dan kesiapan kita karena semua keberhasilan berlandaskan dan berpondasikan dengan niat, niat bulat tekad kuat. Tak terkira bangganya dengan apa yang dapat kita peroleh dari jerih payah kita bila kita benar-bena membawa nama Calung Banyumasan ini di ajang internasional. Sebuah angan yang mustahil memang bagi kita, tapi tidak bagi Tuhan, Sang Pencipta dan Penggerak arus kehidupan. Semangat agar seni daerah ini diakui PBB sebagai hak warisan bangsa terus membara. Saya sebagai putra asli Banyumas memberikan sejuta penghargaan bagi orang-orang yang mau berdedikasi untuk kelangsungan hidup budaya Banyumas.
Kendati masih banyak celah yang mengakibatkan calung ini menjadi tidak terurus oleh segenap tunas bangsa antara lain mereka gengsi atas ketidak update-an hal yang mereka miliki seperti calung ini. Itu bukan kendala besar tapi bisa menjadi kerikil tajam dan melukai apabila tidak diatasi dengan benar. Apakah dengan adanya ucapan-ucapan negatif dari orang lain ada pengaruhnya bagi kehidupan kita. Jika kita analogikan seperti ini, apabila kita tidak mendegarkan perkataan orang tersebut, yang pada dasarnya hanya menjelek-jelekkan kita dan membuat kita drop, kita tidak dapat makan selama tiga hari tiga malam? tidak kan. Semua hal yang akan kita lakukan adalah semua hal yang sesuai dengan hati nurani kita saja. Biarlah anjing menggonggong, kafilah pun berlalu. Anggapan skeptis semacam itu perlu dihilangkan dari mindset kita. Timbulnya masalah lain sangat mungkin karena arus globalisasi membumi di ranah Indonesia, tapi dengan berbekal doa dan keyakinan untuk dapat mencintai Ibu Petiwi apa adanya dan dengan tulus, it can’t change our principle.
Lalu, apa yang membuat kita enggan mengibarkan Merah Putih di kancah internasional dengan membawa segenggam mutiara hitam dari tanah sendiri, tanah yang kunjung rapuh? Kibarkan semboyan Aku Bangga Indonesia Tanah Airku. Semangat menggebu tuk bunyikan Calung Banyumasan di halaman White House atau pelataran Mabes PBB di Washington DC. Mari robek panji kegelapan dari kerapuhan budaya, kini bukan saatnya berpangku tangan sehingga  didahului oleh orang lain. Perubahan dimulai dari diri kita sendiri, sekarang, dan dimulai dari hal kecil. Ingatlah bahwa “Orang yang berani adalah orang yang takut, karena orang yang takut akan lebih besar mendapat keberanian untuk mengalahkan rasa takutnya”. Beranilah untuk melangkahkan kaki mungil kita di istana, kendati kita memang benar-benar orang sawah, tapi percayalah dengan apa yang kita miliki, bermodal doa, keberanian dan niat serta tekad yang kuat, apapun dapat dilakukan. So, Keep Spirit and Save Our Culture! Ora ngapak dupak. J

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Asmaul Husna

Calendar Hijri

Popular Post

Buscar

- Copyright © Ganesha 50 -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -