Posted by : Nacoola generation
Senin, 04 Februari 2013
Aku
Lupa Cara Tersenyum
(Oleh:
Fadil Saeful Isnan)
Apa
yang kita pikirkan ketika mendengar kata “kekerasan” ? Sebuah bayangan akan
perang, pemukulan, atau bahkan darah. Bulu roman yang tak kunjung turun saya
rasakan. Sudah jelas tertera dalam teks Pancasila yang selalu dibacakan setiap
Senin pagi oleh Pembina upacara, poin pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah
jelas, punya Tuhan kah mereka ? pelaku kekerasan. Indoneisia bukan pada masa
tahun 1949-1950, namun 2012. Pertumpahan darah hukumnya haram dan tak akan
dilakukan hanya jika kita terpaksa akan ‘perang’ bukan memulai perang.
Belum
lama ini kita tengah simak bersama di dalam surat kabar atau pun layar kaca, di
dalam berita marak judul bertaburan dengan tajuk “Bentrok Antar Warga Di
Lampung Selatan”. Mengapa saya menyoroti peristiwa ini ? padahal masih ada
segudang penembakan, pembunuhan, dan aneka kekerasan lain yang tak
henti-hentinya diluncurkan oleh masyarakat yang mengaku cinta Indonesia. Apakah
Anda semua tahu apa yang melatar belakangi insiden ini terjadi ? sebuah alasan
tidak logis memang, hanya karena percikan api kebencian masa lalu sebesar korek
api terungkap dan terulang kembali, setelah terkubur di dalam sumur zaman.
Mengapa mereka tidak berpikir untuk menghentikan dan mencoba untuk berpikir dinamis
ke depan, ke arah yang lebih baik. Saya
akan coba mulai tuturkan apa yang dapat terkuak dari dalam pikiran saya
mengenai konflik ini.
Insiden
ini dimulai kembali pada 27 Oktober 2012 pukul 23.00 WIB. Konflik terjadi
antara Desa Agom, Kecamatan Kalianda dengan warga Desa Balinuraga, Kecamatan
Way Panji, Lampung Selatan saat pemuda Desa Balinuraga mencoba menggoda dua
pemudi pengendara sepeda motor dari Desa Agom. Pemudi itu digoda hingga jatuh.
Keluarga korban tidak terima dan kedua keluarga korban mendatangi Desa
Balinuraga, namun mereka justru diserang oleh warga yang sudah menunggu
kedatangan mereka dengan senjata api yang menyebabkan satu orang tewas. Kondisi
ini memanas pada hari berikutnya, 28 Oktober 2012 dan kembali memakan korban
sebanyak tiga orang. Total empat korban. Korban terus betambah hingga tanggal
29 Oktober 2012.
Kita
telah mengetahui apa yang menjadi latar belakang insiden Way Panji ini, masalah
moral pemuda yang sengaja menggoda dengan penuh birahi kepada para pemudi yang
melintas di muka mereka. Apa yang mereka pikirkan ? saya beranggapan bahwa mereka
telah kehilangan jati diri bangsa sebagai warga ketimuran yang menghormati dan
menghargai hak-hak dan kehormatan kaum hawa. Kita dapat membayangkan apa yang
telah pemuda-pemuda ini lakukan. Ada alasan bahwa mereka telah melakukan
penyimpangan semacam merokok, drugs,
dan penyimpangan seksual. Sebuah analogi yang dapat tergambarkan adalah jika
kita telah memakan kacang yang kita sukai sekali dalam seharai, maka bukan
barang mustahil di hari berikutnya, kita akan memakan kacang yang sama dua kali
atau lebih dalam sehari.
Sebuah
penjagaan akan kodrat diri sendiri memang sangat penting. Saya bepikir, kita
tidak dapat menyalahkan salah satu pihak sedangkan pihak lain kita tidak tahu
dan tidak kita coba cari tahu kesalahannya. Korban adalah pemudi. Mereka adalah
wanita, gadis. Sebuah kemungkinan dengan 80% kebenarannya bahwa mereka masih
dara dan belum melakukan perkawinan yang sah menurut agama dan konstitusi.
Sudah barang tentu mereka harus benar-benar menjaga apa yang mereka miliki,
khususnya untuk suami mereka nantinya. Apakah kata-kata “harus menjaga” telah
mereka lakukan dengan baik ? kita tidak tahu. Namu kalau lah mereka mengenakan
hijab dan menutup semua apa yang harus mereka tutup, hal semacam ini tidak akan
terjadi. Namun sebaliknya, bila mereka membiarkan kelelawar menikmati buah pepaya
yang ranum, kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Hal semacam ini tak
dapat dielakkan.
Sebab
ketiga yang dapat saya tangkap adalah dari mana oknum tesebut memperoleh
senjata api ? bukankah sebuah pelanggaran hukum apabila mengedarkan, menjual,
atau memakai senjata api secara bebas. Selain sudah termaktub dalam
Undang-Undang dan kitab Konstitusi, perbuatan semacam ini bisa melayangkan
seseorang menuju singgasana surga. Seharusnya peredaran senjata api secara
bebas dan ilegal benar-benar diperhatikan dengan baik dan segera dihentikan.
Kita tengah mengetahui bersama bahwasannya orang-orang yang diserahi wewenang
untuk menggunakan dan menjaga senjata api adalah aparat penjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat bukan masyararakat umum. Merekalah orang-orang terlatih
dengan tangan baja nan lembut. Namun lain cerita bila Sang Penjagalah justru
yang melakukan hal biadab ini. Langsung masukkan saja ke dalam jurang jarum
bagi orang yang telah berikrar untuk menggunakan senjata apa dengan ‘baik dan
benar’ ini.
Seperti
yang telah tergambar di atas, degradasi moral begitu terlihat. Saya sebagai
pelajar yang hampir dewasa sudah mulai merinding merasakan kengerian hal
semacam ini. Saya tidak pernah membayangkan bila desa saya bentrok seperti ini
dengan desa sebelah. Saya hanya berusaha untuk memikirkan bagaimana caranya hal
segila ini dapat terselesaikan dengan baik serta tanpa catatan muncul kembali
konflik yang sudah lama tependam. Ingatlah bahwa sekarang bukan zaman perang,
namun zaman iptek. Diibaratkan, kita akan kembali ke zaman di mana kita masih
primitif dan tak mampu berpikir apa-apa bila kehidupan kita hanya diisi dengan
bentrok dan tawuran apalagi tawuran antar pelajar. Mau jadi apa bangsa kita ?
Bentrok yang terjadi di Way Panji ini sangat cocok jika dijodohkan dengan
bentok pelajar dan mahasiswa yang hanya memakai hawa nafsu untuk menyelesaikan
masalah, bukan menggunakan logika yang telah diangerahkan oleh Tuhan kepada
kita. Lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya mencetak generasi semacam B.J.
Habibie yang berhasil menerbangkan Indonesia ke dunia internasional atau
sekedar mencetak duplikat dari Ir. Soekarno yang disegani oleh para pioneer negara
lain sebagai penunggang Macan Asia. Ataupun menjadi anak desa seperti Soedirman
yang berhasil menjadi Jendral TNI dan memimpin armada angkatan darat Indonesia
di masa lalu. Walau beliau kelahiran Rembang, Purbalingga yang notabene menjadi
wilayah pegunungan yang jarang dilalui transportasi dan komunikasi namun dengan
semangat membara dan motivasi luar biasa, mereka bisa membangun Nusantara.
Mengapa para pemuda zaman sekarang tidak mencoba untuk memikirkan itu? Padahal
pemuda adalah aset bangsa.
Berbicara
mengenai solusi yang sudah pemerintah lakukan, saya akan menjawab bahwa aparat
keamanan hanya berusaha untuk menjaga tempat sekitar konflik agar tidak meluas
bukan menyelesaikan agar tidak ada lagi bentrokan. Ini penanganan yang kurang
efektif, mengapa demikian? Aparat pastinya sudah disiapkan baik fisik dan
mental untuk menghadapi kondisi semacam ini. Selain itu sarana dan prasarana
pasti sudah memadai untuk keselamatan diri ataupun awak lain, namun tindakan
yang dilakukan hanya mengamankan agar tidak meluas. Di samping pengamanan, ada
pula aparat yang membersihkan puing-puing bangunan. Mengapa harus dilakukan
oleh aparat keamanan ? Bukankah ada angota semacam SAR yang memang seharusnya
diterjunkan untuk hal serupa. Seharusnya pemerintah mengerahkan semua anggota
keamanan baik dari TNI dan POLRI untuk menyelesaikan konflik ini. Merekalah
orang yang sudah benar-benar terlatih untuk mengatasi bencana.
Saya
hanya menyampaikan dan menuliskan apa yang ada di dalam benak saya. Ketika
sedang terjadi konflik sehebat ini. Kemanakah presiden kita? Beliau melawat ke
Inggris bukan ke Lampung untuk menuntaskan kasus. Semoga ada hasil dari
kunjungan Presiden SBY ke Inggris tersebut dan membawa kemakmuran bagi bangsa
Indonesia. Saya merasa miris dengan apa yang dihadapi oleh Indonesia. Banyak
kasus yang disebabkan hilangnya rasa nasionalisme, Bhinneka Tunggal Ika,
patriotisme, dan adat ketimuran. Begitu pula aparat pemerintahannya, banyak
yang berdasi, banyak pula yang mengenakan dasi kepada tikus peliharaan mereka.
Hanya sedikit yang mau memelihara ayam yang menghasilkan daging dan telur.
Sebuah analogi yang cukup rumit bukan? Indonesia butuh pemimpin bukan politisi,
yang dapat memimpin bukannya koar-koar orasi sana-sini mengumbar sejuta janji
tapi tak kunjung ditepati. Sudah banyak kasus yang tidak bisa diselesaikan
dengan baik oleh aparat. Dari kekerasan hingga korupsi yang sekali lagi membawa
nama moral.
Mari
kita isi masa muda kita untuk berkarya. Pengembangan keorganisasian yang jelas
adalah salah satu aplikasi penyelesaian masalah yang selalu muncul di kalangan
remaja dan dewasa. Sudah barang tentu jika kita manfaatkan waktu kita dengan
baik untuk senantiasa menempa diri untuk bangsa dan negara, maka insiden
seperti yang ada di Way Panji tidak akan terjadi. Mari gerakkan jiwa, batin, dan
pikiran kita untuk membuat Ibu Pertiwi tersenyum. Generasi muda yang baik
adalah generasi muda yang mau menggerakkkan generasi lain untuk membangun dunia
agar selalu lebih baik. Belajar dengan tekun, selalu memperbaiki dan
introspeksi diri adalah beberapa cara untuk membangkitkan dan menerbangkan Sang
Garuda yang selalu diam membisu menangis melihat bobroknya moral bangsa.
Amalkan selalu nilai-nilai Pancasila dan do
the best.
Walau
Indonesia tidak menerapkan wajib militer kepada pemuda seperti Korea Selatan,
tapi setidaknya kita bisa membuat diri kita disiplin dan tangguh serta mandiri
dalam berkarya untuk selalu menjadi yang terbaik. Latihan kepemimpinan dapat
selalu ditingkatkan baik dari segi kuantitas peserta dan kualitas materi
sehingga tidak ada waktu dan materi yang terbuang sia-sia. Senantiasa berdoa
demi tercapainya cita-cita bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dengan
cara meningkatkan dan menghormati toleransi baik di lingkungan keluarga,
sekolah, ataupun masyarakat. Buat apa ada meterikulasi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan di sekolah kalau mental dan moral anak negeri tetap seperti
mendoan yang dimasak setengah matang? Tidak ada kekuatan dan ketegaran dalam
menghadapi masalah terutama arus globalisasi. Mari ubah konfrontasi dan
bentrokan dengan sebuah ajang pengembangan prestasi guna memajukan bangsa
melalui pemuda-pemudi.
Itu
sebuah langkah umum untuk menyelesaikan masalah dan kasus bentrokan dan yang
lainnya di Indonesia. Namun untuk masalah di Way Panji memang harus ada
setidakanya sekelompok pemuda yang sadar terlebih dahulu dari masing-masing
desa atau minimal dari satu desa agar dapat menularkan virus perdamaian kepada
yang lain. Pemuda semacam ini adalah pemuda yang benar-benar bisa mengendalikan
dirinya terlebih dahulu sebelum mengendalikan orang lain. Sebuah langkah berani
untuk menghadang di baris depan guna menghentikan aksi massa ini. Bukan barang
mustahil jika benar ada orang semacam ini, orang yang benar-benar hanya takut
kepada Tuhan Sang Pemberi Kekuatan. Sebuah langkah riil dari kesungguhan insan
biasa dalam memajukan Indonesia tercinta.
Akhirnya,
mari tutup lembaran penuh debu atau setidaknya mari bersihkan agar tidak ada
lagi bekas kotor pada selembar kertas Nusantara dalam buku kehidupan kita.
Bukalah selalu semangat baru tuk ciptakan dan kibarkan panji perdamaian dunia
serta junjunglah selalu nama baik Nusantara dan Ibu Pertiwi. Sekali lagi,
pemuda adalah pioneer bangsa yang akan selalu menjaga dan mengawal kemana pun
Indonesia kan pergi berlayar dan di mana pun Indonesia akan berlabuh. Akan ku
gantungkan jiwa dan raga ini demi kemajuan dikau wahai Indonesiaku. Aku
berjanji untuk selalu memberi yang terbaik Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami.
Indonesia tak lagi bersedih, akan ku ukir namamu di kancah internasional. Janji
ku janji Pramuka. Akan ku ubah kata-kata sang Ibu Pertiwi yang dulu berkata
“Aku lupa cara tersenyum”. Maka aku balas untuk yang terakhir, “Ibu,
tersenyumlah.” Terima kasih Indonesia.