Posted by : Nacoola generation
Sabtu, 09 Februari 2013
SEPANJANG tahun 2010
ini, Jawa Timur akan menjadi arena suksesi pergantian pimpinan daerah tingkat
dua, Kabupaten dan Kotamadya terbanyak di tingkat nasional. Sebanyak 18 daerah
tingkat dua teragendakan akan menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) sebagai aplikasi pesta demokrasi yang sesungguhnya. Ini karena
nasib para peserta bursa calon pimpinan daerah ada di tangan warga daerah
penyelenggara Pilkada.
Tak pelak lagi, citra
setiap masyarakat sedikit terdongkrak. Mereka menjadi sasaran serbu rayuan para
peserta bursa calon pimpinan daerah. Sosok yang sebelumnya tak pernah sekalipun
menengok, memikirkan, atau berempati pada masyarakat, secara tiba-tiba berbalik
180 derajat. Menjadi sosok yang penuh perhatian pada masyarakat.
Teknik yang mereka
tebarkan biasanya sangat klise dan tendensius. Bermodal sedikit ‘angpao’
rupiah, paket sembako, atau lainnya sebagai pintu gerbang mendekati masyarakat,
satu dan lain peserta akan adu kecerdikan membual dan menebar rayuan. Rata-rata
mereka berjanji akan memperbaiki nasib masyarakat yang didekati jika saja
diberi kesempatan berbentuk dukungan suara saat penyelenggaraan Pilkada.
Bagaimana saat calon
tersebut benar-benar sukses. Mengantongi dukungan suara mayoritas, sehingga
tahta pimpinan daerah berhasil digenggamnya. Jawabannya hanyalah Wallahu a’lam
Bish-showwab… Pemimpin pilihan masyarakat itu mungkin saja ingat dan memenuhi
janji yang ditebarkan semasa kampanye. Namun, bukan tidak mungkin untuk ingkar
janji dengan berpura-pura lupa dan mabuk keberhasilan, sehingga menganggap
angin lalu pada semua janji yang ditebarkan selama kampanye.
Karena itu, senyampang
Pilkada beum diselenggarakan dan masyarakat belum kembali menjadi korban
kampanye, maka perlu kiranya konsep berfikir mereka dalam memilih calon
pimpinan daerahnya sedikit digeser. Masyarakat tidak perlu lagi memilih seorang
calon pemimpin yang dalam kampanyenya getol menebar rayuan. Sebab pemimpin
demikian biasanya akan ingkar terhadap janji-janjinya, karena banyaknya janji yang
ditebarkan tidak mungkin dapat tepenuhi dalam 5 tahun memimpin sebuah daerah.
Lalu calon pemimpin
bagaimana yang layak mendapat dukungan? Calon pemimpin yang layak mendapat
dukungan sesungguhnya sudah digariskan dalam setiap agama. Dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, maka bukan sebuah sikap yang
berlebihan jika Al-Quran sebagai kitab suci kaum muslim dijadikan sebagai
sebuah pertimbangan utama dalam memilih seorang pemimpin yang ideal.
DARI BELAKANG
Pemimpin ideal yang
layak mendapat dukungan, digariskan Quran hanyalah pemimpin yang memiliki
karakter seorang Khalifah, Imam, Malik, dan Ulil Amri. Sebab empat istilah
untuk menyebut pemimpin sebagaimana termaktub dalam Quran itu, sesungguhnya
merupakan pernik-pernik pesan yang ingin disampaikan Allah SWT lewat firman-Nya
untuk umat manusia dalam memilih pemimpinnya.
Allah menunjukkan,
bahwa masyarakat hendaknya memilih pemimpin yang berkarakter Khalifah
sebagaimana dalam Surat Al-Baqoroh ayat 30 dan Shad ayat 26. Kata Khalifah
dalam bentuk Mufrod (tunggal), menurut Quraish Shihab dalam buku “Membumikan
Alquran” terbitan Mizan, disebut sebanyak dua kali. Sedangkan dalam bentuk
jamak (plural), alquran menggunakan dua bentuk. Pertama kata khalaif yang
terulang sebanyak empat kali. Dan kata Khulafa’ yang ditulis sebanyak tiga
kali. Semua kata kata tersebut berakar dari kata Khulafa’ yang pada awalnya
berarti “ Di belakang “.
Dari pengertian ini,
kata Khalifah seringkali diartikan sebagai “ Pengganti “, karena yang
menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya,
demikian tulis Quraish Shihab.
Sedangkan isi
Al-Baqoroh ayat 30 yang menunjukkan tentang yang menyebut pemimpin dengan
istilah Khalifah adalah:
Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat : ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
Khalifah di muka bumi. Mereka berkata : ”Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? ”Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui”.
Adapun dalam Shad ayat
26, istilah Khalifah kembali tersebut sebagai berikut:
Hai Dawud, Sesungguhnya
kami menjadikan kamu Khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara)
diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Berdasaran Surat
Al-Baqoroh dan Surat Shad itu, Allah telah meminta umat manusia untuk memilih
pemimpin dengan latar belakang yang steril dari perilaku membuat kerusakan di
atas bumi, tidak menumpahkan darah, berbuat adil, dan tidak mengikuti hawa
nafsu. Artinya, berdasarkan ayat ayat di atas, seorang pemimpin ideal sebaiknya
adalah mereka yang memiliki sikap mental yang tersebut di atas.
KESEMPURNAAN ILMU
Bagaimanakah dengan
kecerdasan intelektual, apakah ikut berperan dalam menentukan idealitas seorang
pemimpin? Dalam surat yang sama, Surat Al-Baqoroh dan Surat Shaad, Allah
berfirman:
Dan Dia mengajarkan
kepada Adam nama nama (benda benda) seluruhnya …. (QS. Al-Baqoroh ayat 31)
Dan kami kuatkan
kerajaannya dan kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam
menyelesaikan perselisihan. (QS. Shad ayat 20)
Pada catatan kaki
Al-Quran dan terjemahnya terbitan Mujamma’ Al Malik Fahd, Saudi Arabia, yang
dimaksud hikmah di dalam surat Shaad di atas adalah kenabian, kesempurnaan
ilmu, dan ketelitian amal perbuatan.
Dua ayat di atas yang
masih berbicara tentang kepribadian nabi Adam dan Nabi Dawud sebagai Khalifah
jelas sekali menegaskan akan kemampuan intelektualnnya. Dengan kata lain,
pemimpin ideal menurut ayat-ayat ini, disamping memiliki kemampuan emosional
dan sikap mental yang baik, juga harus memiliki kecerdasan intelektual yang
mumpuni.
Sedangkan calon
pemimpin yang layak didukung dan dipilih harus memiliki karakter Imam. Menurut
Al Tabrasi dalam kitab tafsirnya, seperti dikutip Quraish Shihab, mempunyai
makna yang sama dengan Khalifah. Hanya saja, kata ini di pakai untuk makna
keteladanan, karena ia berasal dari sebuah kata yang mengandung arti depan.
Berbeda dengan kata Khalifah yang pada awalnya berarti belakang.
Kata Imam dalam
Al-Quran disebut sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbeda beda. Akan
tetapi, kesemuanya itu bermuara pada satu makna sesuatu yang di tuju atau di
teladani. Yang lebih mendekati pengertian yang sesuai dengan arti pemimpin
adalah surat Al-Baqoroh ayat 124 dan Al-Furqon ayat 74 yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu
Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman : “ Sesungguhnya aku akan menjadikanmu
Imam bagi seluruh manusia “. Ibrahim berkata : “ (Dan saya mohon juga) dari
keturunanku “. Allah berfirman : “ Janjiku (ini) tidak mengenai orang orang
yang dzalim “. (QS. Al-Baqoroh ayat 124)
Dan orang orang yang
berkata : “ Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami Imam bagi orang
orang yang bertaqwa. (QS. Al-Furqon ayat 74)
MEREBUT TAHTA
Dari gambaran dua ayat
itu, muncul satu pemahaman bahwa seorang Imam (pemimpin) terbiasa untuk
meneruskan dan mewariskan kepemimpinannya kepada anak cucu. Istilah politik
mengungkapkannya dengan sebutan Monarki.
Pada surat Al-Baqoroh
ayat 124, nabi Ibrahim sebagai seorang Imam (pemimpin), ingin sekali meneruskan
dan mewariskan kepemimpinannya kepada anak cucu. Itu dibuktikan dengan
permohonannya kepada Alllah SWT dengan kalimat “ (Dan saya mohon juga) dari
keturunanku “. Surat Al-Furqon ayat 74 pun kelihatannya tidak jauh berbeda.
Ayat itu berisi permohonan seseorang untuk melanggengkan kepemimpinannya kepada
anak cucu dan golongannya sendiri. Hanya saja sistem monarki atau sumber dan
pusat kepemimpinan yang selalu berkisar pada golongan tertentu, nampaknya diberi
syarat oleh Allah dengan “ Janjiku (ini) tidak mengenai orang-orang yang dzalim
“. Ungkapan ini menunjukkan, bahwa sifat dzalim atau tidak dapat berbuat adil
merupakan watak yang tidak dimaui oleh Tuhan dalam melestarikan, melanggengkan
dan merebut tahta kepemimpinan.
Sebenarnya masih ada
lagi istilah istilah alquran yang dapat kita masukkan ke dalam pengertian
pemimpin, seperti Malik dan Ulul Amri. Untuk mengeksplor dua kata diatas,
dibutuhkan penelitan yang lebih mendetail.
Dengan tidak mengurangi
pemikiran yang berkembang di masyarakat dan teori teori kepemimpinan yang ada,
ayat ayat alquran yang kami sampaikan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Pemimpin ideal menurut alquran adalah mereka yang memilki sikap
emosional yang terkendali, sikap mental yang mapan, dan kecerdasan
intelelektual yang mumpuni. Tidak berbuat kerusakan di bumi, tidak menumpahkan
darah, berbuat adil, dan tidak menuruti hawa nafsu adalah ungkapan ungkapan
Al-Quran dalam menjabarkan hal tersebut.
Sedangkan yang kedua,
pemimpin ideal adalah seseorang yang terpilih tidak sekedar karena gen
(keturunan), tetapi lebih banyak karena kemampuan diri sendiri, dan
Kepemimpinan tidak dapat diturunkan kepada anak cucu.
Dari isi tiga ayat
Surat Al-Baqoroh, dua ayat Surat Shad, dan satu ayat Surat Al-Furqon itu,
sesungguhnya masyarakat daerah di Jawa Timur dan luar daerah lainnya secara
tersurat sudah memiliki pedoman dalam memilih pemimpin masing-masing daerahnya.
Sehingga calon pemimpin yang memiliki latar belakang pengrusak dalam arti sesungguhnya
atau pun simbolik, berwatak dzalim, miskin rasa adil dan bijaksana, serta jauh
dari siap ketaqwaannya pada Allah SWT hendaknya tidak dipilih dan didukung.
Pasalnya calon pemimpin yang demikian telah dipastikan Allah akan membuat
kerugian pada daerah dan masyarakat yang dipimpinnya.
Sebaliknya jika
masyarakat suatu daerah itu tak mengindahkan garis demarkasi sosok pemimpin
sebagaimana difirmankn Allah dalam Al-Quran, maka besiap saja pada saatnya
nanti Allah akan memberikan sebuah peristiwa memperihatinkan atau tragedi, yang
berfungsi sebagai sebuah peringatan Illahi akan kesalahan yang dilakukan umat
manusia sebuah daerah atau negara.