Posted by : Nacoola generation
Senin, 14 November 2011
Energi Surya Bisa Dikembangkan Secara Ekonomis
Energi surya bisa segera dimulai pengembangannya secara besar-besaran di Indonesia dengan penemuan sel surya (solar-cell) tipe dye sensitive. Teknologi ini jauh lebih ekonomis dari silikon sehingga tak memerlukan investasi mahal.
"Selama ini, meski Indonesia negara tropis yang sinar mataharinya melimpah ruah, energi surya tak bisa dikembangkan secara optimal karena investasinya sangat mahal dan sel suryanya masih diimpor," kata Pakar Teknik Fisika ITB, Dr. Brian Yuliarto, di sela Konferensi Internasional Advanced Material and Practical Nanotechnology di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Banten, Senin (4/9).
Sel surya tipe dye sensitive menggunakan bahan Titanium Dioksida (TiO2), Seng Dioksida (ZnO2) atau sejenisnya. Material tersebut dapat menggantikan fungsi silikon yang saat ini menghabiskan 70 persen dari harga sel surya itu sendiri.
"Proses pembuatan sel surya dengan silikon memerlukan peralatan khusus yang mahal dan ruang yang bersih sehingga harga sel surya menjadi mahal dan menghambat masyarakat menggunakan tenaga matahari," katanya. Sedangkan, harga TiO2 dan ZnO2, ujar penemu sel surya tipe dye sensitive itu, seperempat lebih murah harga silikon.
"Itulah mengapa dibandingkan dengan harga listrik PLN, listrik dari sistem surya itu lebih mahal 30 kalinya. Jika listrik PLN harus dibayar Rp100 ribu per bulan, maka listrik dari sel surya memerlukan investasi awal Rp3 juta, meski untuk seterusnya tak perlu membayar, namun daya tahannya sudah habis sebelum investasi itu balik modal," katanya.
Namun ia mengakui, jika efisiensi energi surya dari bahan silikon mencapai 24 persen, TiO2 hanya 11 persen, bahkan ZnO2 lebih rendah lagi. Tapi, di masa depan tipe dye sensitive ini akan semakin efisien.
Pada 2008, setelah paten sel surya habis masa berlakunya dan energi surya semakin efisien, ujarnya, maka dunia akan besar-besaran menggunakan sel surya sebagai energi alternatif. "Untuk sekarang, seharusnya sudah dimulai penggunaan energi surya untuk lampu-lampu jalan dan rambu lalu lintas di Jakarta," ujarnya.
Sumber : Antara/Kompas
Energi surya bisa segera dimulai pengembangannya secara besar-besaran di Indonesia dengan penemuan sel surya (solar-cell) tipe dye sensitive. Teknologi ini jauh lebih ekonomis dari silikon sehingga tak memerlukan investasi mahal.
"Selama ini, meski Indonesia negara tropis yang sinar mataharinya melimpah ruah, energi surya tak bisa dikembangkan secara optimal karena investasinya sangat mahal dan sel suryanya masih diimpor," kata Pakar Teknik Fisika ITB, Dr. Brian Yuliarto, di sela Konferensi Internasional Advanced Material and Practical Nanotechnology di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Banten, Senin (4/9).
Sel surya tipe dye sensitive menggunakan bahan Titanium Dioksida (TiO2), Seng Dioksida (ZnO2) atau sejenisnya. Material tersebut dapat menggantikan fungsi silikon yang saat ini menghabiskan 70 persen dari harga sel surya itu sendiri.
"Proses pembuatan sel surya dengan silikon memerlukan peralatan khusus yang mahal dan ruang yang bersih sehingga harga sel surya menjadi mahal dan menghambat masyarakat menggunakan tenaga matahari," katanya. Sedangkan, harga TiO2 dan ZnO2, ujar penemu sel surya tipe dye sensitive itu, seperempat lebih murah harga silikon.
"Itulah mengapa dibandingkan dengan harga listrik PLN, listrik dari sistem surya itu lebih mahal 30 kalinya. Jika listrik PLN harus dibayar Rp100 ribu per bulan, maka listrik dari sel surya memerlukan investasi awal Rp3 juta, meski untuk seterusnya tak perlu membayar, namun daya tahannya sudah habis sebelum investasi itu balik modal," katanya.
Namun ia mengakui, jika efisiensi energi surya dari bahan silikon mencapai 24 persen, TiO2 hanya 11 persen, bahkan ZnO2 lebih rendah lagi. Tapi, di masa depan tipe dye sensitive ini akan semakin efisien.
Pada 2008, setelah paten sel surya habis masa berlakunya dan energi surya semakin efisien, ujarnya, maka dunia akan besar-besaran menggunakan sel surya sebagai energi alternatif. "Untuk sekarang, seharusnya sudah dimulai penggunaan energi surya untuk lampu-lampu jalan dan rambu lalu lintas di Jakarta," ujarnya.
Sumber : Antara/Kompas