Posted by : Nacoola generation Selasa, 25 September 2012




KOMPAS/SRI REJEKI Di hari pertama Lebaran, Minggu (19/8/2012) ini, mal-mal dan pusat perbelanjaan lain tetap diserbu pengunjung. Utamanya di gerai makanan dan permainan anak-anak.
JAKARTA, KOMPAS.com - Kalau sedang main ke mal-mal di kota-kota besar Indonesia, cobalah perhatikan dengan kritis toko, restoran, dan supermarket di sana! Berapakah  produk asli Indonesia? Berapa toko pakaian, sepatu, tas, parfum, serta arloji dan aksesori lain yang menjual produk dalam negeri? Berapa restoran yang menyajikan masakan asli atau khas Indonesia?
Jawabannya tidak lebih dari separuh. Restoran hanya beberapa yang benar-benar menyajikan masakan/makanan khas Indonesia, semisal sate padang, nasi padang, soto ambengan, soto kudus, sop konro, nasi liwet, soto betawi, bakso malang, aneka masakan ala Sunda dan sebagainya. Selebihnya adalah masakan/makanan dari mancanegara.


Tengok pula kafe! Berapa banyak kafe yang benar-benar berciri Indonesia? Tidak lebih dari separuh. Umumnya, kafe yang hadir adalah  waralaba dari Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Hongkong, Singapura, dan Malaysia. Menyedihkan? Ya, memang menyedihkan.  Sebagian di antara masyarakat kita malah lebih akrab  dengan waralaba dari negara mungil seperti Singapura.
Bayangkan, sebagian di antara kita terpesona oleh waralaba yang menawarkan roti bakar  srikaya, teh tarik, dan telur setengah matang. Kita pun pasti bisa membikin yang serupa, tetapi agaknya publik lebih tertarik produk dari negeri jiran. Lalu roti bakar pakai selai, telur setengah matang, di warung-warung STMJ (susu, telur, madu, dan jahe), lewat begitu saja. Padahal tak kalah enak, hanya beda lokasi penyajian.
Ini baru sebagian masalah. Hal yang tidak kalah menariknya adalah kalahnya produsen dalam negeri dengan  produsen luar negeri. Namun, siapa yang bisa geram? Ini bagian dari mekanisme pasar, ini persoalan permintaan dan penawaran.
Sepatu dari Inggris, misalnya, harganya tidak berselisih jauh dengan sepatu dalam negeri. Namun, sepatu itu awet, bisa dipakai bertahun-tahun. Dan, repotnya, banyak yang merasa sepatu seperti itu makin tua makin empuk dan nyaman dikenakan. Tidak heran kalau ia laku keras di pasaran.
Tentu tidak semua sepatu luar negeri yang mahal bermutu baik. Banyak juga yang mutunya amburadul, tetapi itu tadi, banyak yang terpesona pada merek dan harga. Yang mahal bukan main dikategorikan berkualitas tinggi, padahal belum tentu. Sebaliknya, ada banyak merek dalam negeri yang mutunya keren, tetapi pemasarannya kalah telak dengan sepatu luar negeri. Akibatnya, ia tidak bisa berkompetisi ketat dengan sepatu-sepatu merek terkenal dari luar negeri.
Di arena lain, pakaian, arloji, tas, perhiasan, parfum, dan aneka aksesori juga masih didominasi  produk-produk luar negeri.
Ada juga produk dalam negeri yang mencoba masuk dalam ruang kompetisi bisnis. Ada yang sukses, tetapi ada juga yang belum beruntung. Kita ambil patokan sukses saja. Alangkah baiknya kalau  pengusaha  mengambil teladan dari pengusaha yang sukses tersebut.
Betapa asyiknya kalau  pengusaha nasional berani naik ke panggung persaingan bisnis dengan menawarkan produk berkelas yang diterima publik. Indah nian persaingan itu, dan kita memberi respek kepada  produsen dalam negeri yang berani bertarung dan  memenangi pertarungan bisnis itu.
Persaingan bisnis tidak hanya menekankan pada kualitas produk, penjualan, dan terobosan pemasaran, tetapi juga kecerdasan, percaya diri, dan nyali untuk bersaing di pentas bisnis yang penuh lika-liku.
Pasar, sebagaimana sifatnya, selalu mengapresiasi siapa pun yang bisa meluncurkan produk berkualitas dan dipasarkan dengan cerdas, tahu posisi dan peluang pasar.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Welcome to My Blog

Asmaul Husna

Calendar Hijri

Blog archive

Popular Post

Buscar

- Copyright © Ganesha 50 -Robotic Notes- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -