Posted by : Nacoola generation
Senin, 01 Oktober 2012
Setiap negara memiliki kebijakan masing-masing dalam
menentukan kewajiban mengenakan seragam bagi para siswa, khususnya pada siswa
sekolah dasar dan menengah. Di Indonesia, ketentuan mengenakan seragam sekolah
diterapkan secara beragam, baik berdasarkan jenjang maupun jenis pendidikan.
Berdasarkan jenjang sekolah, pada umumnya seragam yang
dikenakan siswa di Sekolah Dasar (SD/MI) berwarna putih (baju/bagian atas) dan
merah (celana atau bagian bawah). Sementara di Sekolah Tingkat Pertama
(SMP/MTs) berwarna putih (baju/bagian atas) biru (celana atau bagian bawah),
sedangkan untuk seragam Sekolah Tingkat Atas (SMA/MA) berwarna putih
(baju/bagian atas) abu-abu (celana atau bagian bawah).
Ketentuan berseragam tersebut boleh dikatakan berlaku
secara nasional. Kendati demikian, untuk sekolah-sekolah swasta, ada yang
menerapkan secara penuh ketentuan seragam di atas, namun ada pula yang
menerapkan ketentuan seragam khusus sesuai dengan kekhasan dari sekolah yang
bersangkutan. Pada sekolah-sekolah muslim, ketentuan berseragam sekolah
disesuaikan dengan ajaran Islam (misalnya, mengenakan jilbab bagi siswa
perempuan, atau bercelana panjang pada siswa laki-laki).
Sejalan dengan penerapan konsep School Based Management,
saat ini ada kecenderungan sekolah-sekolah negeri pun mulai menentukan
kebijakan seragam sekolahnya masing-masing. Pada hari-hari tertentu mewajibkan
siswanya untuk mengenakan seragam khas sekolahnya, meski ketentuan “seragam
standar nasional” masih tetap menjadi utama dan tidak ditinggalkan.
Pada sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam
telah menjadi bagian dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat,
mulai dari ketentuan bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya, bahkan termasuk
cara pembeliannya. Penerapan disiplin berseragam yang sangat ketat, kerapkali
“memakan korban” bagi siswa yang melanggarnya, mulai dari teguran lisan yang
terjebak dalam kekerasan psikologis sampai dengan tindakan kekerasan hukuman
fisik (corporal punishment).
Sama seperti kejadian di beberapa negara lain, ketentuan
mengenakan seragam sekolah ini keberadaannya selalu mengundang pro-kontra. Di
satu pihak ada yang setuju dan di pihak lain tidak sedikit pula yang memandang
tidak perlu ada seragam sekolah, tentunya dengan argumentasi masing-masing.
Bahkan di mata siswa pun tidak mustahil timbul pro-kontra. Lumsden (2001)
menyebutkan beberapa keuntungan penggunaan seragam sekolah, diantaranya: (1)
dapat meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan
iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa
(higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stress di keluarga
(less stress on the family).
Mereka yang tidak setuju adanya aturan berseragam tentunya
memiliki argumentasi tersendiri, biasanya dengan dalih pendidikan sebagai
proses pembebasan dan proses keberagaman (bukan penyeragaman), apalagi dengan
kecenderungan menjadikan seragam sekolah sebagai ritual tahunan “selingan
bisnis” oknum tertentu, yang melihatnya sebagai sebuah peluang ekonomi.
Menarik, apa yang dikembangkan di SMA de Britto Yogyakarta, yang tidak
mewajibkan siswanya mengenakan seragam secara ketat. Kecuali hari Senin dan
hari-hari lain yang diumumkan oleh sekolah, para siswa diperbolehkan mengenakan
pakaian bebas, yaitu baju atau kaos yang berkrah dan celana panjang bukan
kolor. Meski tidak secara ketat menerapkan aturan berseragam, tetapi para
siswanya tampaknya dapat menunjukkan prestasi yang membanggakan, baik secara
akademik mau pun non akademik.
Hal lain yang mungkin perlu kita pertanyakan, kenapa pada
umumnya siswa laki-laki di SMP saat ini masih diwajibkan mengenakan seragam
dengan celana pendek. Secara psikologis, sebetulnya para siswa SMP tidak lagi
disebut anak, mereka adalah kelompok siswa yang sedang memasuki remaja awal,
dalam dirinya sedang terjadi perubahan yang signifikan, baik secara fisik mau
pun psikis, termasuk di dalamnya ada keinginan mereka untuk menjadi dirinya
sendiri dan memperoleh pengakuan untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang
dewasa.
Kenapa tidak diberikan kesempatan untuk itu? Demikian pula
dalam pandangan Islam, usia siswa SMP pada dasarnya sudah termasuk masa aqil
baligh dan sudah dikenakan kewajiban (atau paling tidak dibelajarkan) untuk
melaksanakan ibadah Shalat. Dengan kewajiban mengenakan celana pendek tentunya
akan menjadi hambatan tersendiri untuk menjalankan ibadahnya. Berseragam atau
tidak berseragam memang menjadi sebuah pilihan, tetapi yang paling penting
dalam proses pendidikan adalah bagaimana siswa dapat dikembangkan secara
optimal segenap potensi yang dimilikinya sehingga mampu menunjukkan
prestasinya, baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Bagaimana pendapat
Anda?
Sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2009/01/14/mencermati-tentang-ketentuan-seragam-sekolah/